KRITIK DESKRIPTIF
KRITIK
DESKRIPTIF
Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman
seseorang terhadap bangunan atau kota. Metode Kritik Deskripitf lebih bertujuan
kepada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan
proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan. Metode kritik
ini Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui
berbagai unsur bentuk yang ditampilkannya, tidak dipandang sebagai bentuk to judge
atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana
apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.
JENIS METODA
KRITIK DESKRIPTIF
• Depictive Criticism (Gambaran bangunan)
– Static (Secara Grafis)
– Dynamic (Secara Verbal)
– Process (Secara Prosedural)
• Biographical Criticism (Riwayat Hidup)
• Contextual Criticism ( Persitiwa)
Untuk tugas kritik deskriptif ini
saya akan menggunakan Metode Depictive
Criticism. Dalam kritik ini, objek yang akan saya gunakan adalah Masjid
Agung Demak, dimana objek ini merupakan bangunan tempat ibadah seluruh umat
muslim khususnya di kota Demak, Jawa Tengah. Disini saya akan
menerangkan tentang seluk beluk awal mula bangunan ini berdiri.
Masjid
Agung Demak
Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama dalam tempo satu malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala “Lawang Trus Gunaningjanmi”, sedang pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479. Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.tahun 1520.
Masjid Agung Demak
(Sumber: http://static.panoramio.com/photos/large/89666966.jpg)
Arsitektur
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk
dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru.
Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu,
sehingga dinamai saka tatal.
Saka
Guru
(Sumber:
http://simbi.kemenag.go.id/simas/public/upload/images/13618457003107158911.jpg)
Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka.
Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka
Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1)
Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”,
mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan
makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak,
terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di
kompleks ini juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal
mengenai riwayat Masjid Agung Demak.
Masjid Agung Demak dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995.
Masjid Agung Demak Abad-19
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Demak)
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Demak