Rabu, 11 Februari 2015

KRITIK ARSITEKTUR


KRITIK DESKRIPTIF


KRITIK DESKRIPTIF
Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang terhadap bangunan atau kota. Metode Kritik Deskripitf lebih bertujuan kepada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan. Metode kritik ini Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai unsur bentuk yang ditampilkannya, tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.

JENIS METODA KRITIK DESKRIPTIF
• Depictive Criticism (Gambaran bangunan)
– Static (Secara Grafis)
– Dynamic (Secara Verbal)
– Process (Secara Prosedural)
• Biographical Criticism (Riwayat Hidup)
• Contextual Criticism ( Persitiwa)

Untuk tugas kritik deskriptif ini saya akan menggunakan Metode Depictive Criticism. Dalam kritik ini, objek yang akan saya gunakan adalah Masjid Agung Demak, dimana objek ini merupakan bangunan tempat ibadah seluruh umat muslim khususnya di kota Demak, Jawa Tengah. Disini saya akan menerangkan tentang seluk beluk awal mula bangunan ini berdiri.

Masjid Agung Demak
Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama dalam tempo satu malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala “Lawang Trus Gunaningjanmi”, sedang pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479. Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.tahun 1520.


Masjid Agung Demak
(Sumber: http://static.panoramio.com/photos/large/89666966.jpg)


Arsitektur
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal.


Saka Guru
(Sumber: http://simbi.kemenag.go.id/simas/public/upload/images/13618457003107158911.jpg)

Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di kompleks ini juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat Masjid Agung Demak.

Masjid Agung Demak dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995.


Masjid Agung Demak Abad-19
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Demak)



 Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Demak





KRITIK ARSITEKTUR

KRITIK NORMATIF


Kritik normatif merupakan suatu kritik yang didasarkan pada model yang digeneralisasi untuk satu kategori bangunan spesifik.

JENIS –JENIS METODA KRITIK NORMATIF

Karena kompleksitas, abstraksi dan kekhususannya kritik normatif perlu dibedakan dalam metode sebagai berikut :
• Metoda Doktrin ( satu norma yang bersifat general, pernyataan prinsip yang tak terukur)
• Metoda Sistemik ( suatu norma penyusunan elemen-elemen yang saling berkaitan untuk satu tujuan)
• Metoda Tipikal ( suatu norma yang didasarkan pada model yang digenralisasi untuk satu kategori bangunan spesifik)
• Metoda Terukur ( sekumpulan dugaan yang mampu mendefinisikan bangunan dengan baik secara kuantitatif)

Kritik Tipikal

                                                                                             Masjid Agung Demak

Untuk tugas kritik normative ini saya akan menggunakan Metode Kritik Tipikal. Dalam kritik ini, objek yang akan saya gunakan adalah Masjid Agung Demak, dimana objek ini merupakan bangunan tempat ibadah seluruh umat muslim khususnya di kota Demak, Jawa Tengah.


MASJID AGUNG DEMAK




    Denah Masjid Agung Demak     


Interior Bangunan Masjid Agung Demak

Bangunan kompleks Masjid Agung Demak memiliki beberapa ciri khas diantaranya :
-              Perwujudan akulturasi budaya,
-              Teknik rancang bangun tanpa paku
-              Pembuatan soko guru.      
                                                                                                          
Fasilitas : Parkir, Taman, Gudang, Tempat Penitipan Sepatu/Sandal, Kamar Mandi/WC,     Tempat Wudhu, Sarana Ibadah , Museum Masjid Agung Demak
Daya Tampung Jamaah : 1000 orang

Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25 x 3 m.

Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.

Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.

BENTUK  ATAP